Pages

  • RSS

Wednesday, May 5, 2010

ISLAM TANPA FIQIH & IJTIHAD

A. PENDAHULUAN

Umat Islam meyakini bahwa Hukum Islam bersumber pada wahyu Allah. Dasar dari keyakinan ini adalah kenyataan bahwa sumber hukum dalam Islam adalah Al Qur’an dan al-Sunnah, Allah dan Rasul-Nya yang lazim disebut al-Syari’.

Sumber utama ajaran Islam adalah Al Qur’an yang merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Di dalamnya terdapat berbagai aturan menyangkut aqidah, akhlak dan hukum. Namun Al Qur’an hanya mengatur secara garis besar mengenai berbagai aturan itu. Nabi Muhammad saw, sebagai penyampai ajaran Al Qur’an diberi otoritas untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah diwahyukan kepadanya. Ia dengan demikian sebagai penjelas dan pelaksana dari apa yang ditulis dalam Al Qur’an. Perkataan, perbuatan dan taqrir yang dilakukan Rasulullah merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam. Kedua dasar dan sumber hokum ini saling mengkait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al Qur’an adalah sumber awal yang melegitimasi segala hokum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hokum yang lain. Sementara landasan selain Al Qur’an adalah semua yang sudah menckupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al Qur’an sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan landasan ini, kaum muslimin sependapat bahwa barangsiapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah dan RasulNya maka dinyatakan sebagai kufur.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً

Artinya: “Dan tidaklah patut bagai laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”

Tanpa disadari, keterikatan kaum muslimin uuntuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al-Qur’an dan hadist/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang sama, ternyata, kaum muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber yang sama (Al Qur’an dan Hadist), difahami secara berbeda, sehingga beramalpun dengan praktik yang berbeda. Karena memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama muatannya berbeda.

Awal perbedaaan ini tampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat, dalam artian wahyu dan kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian kaum muslimin berpandangan hany Al Qur’an dan Sunnah Nabi saja yang menjadi sumber hukum mutlak.

Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah terbentuknya ideologi yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan kaum muslimin dalam menghadapi tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.

Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi muslim zaman ini. Generasi kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi pandangan muslim dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk opini keislaman seseorang.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara memandang pada fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman yang berbeda pula. Sehingga I’tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allagh. Karena itu, kaum muslimin mau tak mau, harus memilih j uga, yang konsekuensinya adalah i’tiqad dasar dari pandangan di atas harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga seseorang dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal tersebut.

B. PEMBAHASAN

a. Pengertian Fiqh

Fiqih atau fiqh (bahasa Arab فقه) menurut bahasa berarti mengetahui dan memahamkan, menurut istilah adalah suatu ilmu yang menerangkan segala hukum syara' yang diambil dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul s.a.w. secara penelitian yang mendalam yakni dengan jalan ijtihad dan istinbat.

Makna Fiqih secara etimologis berarti faham, dan inilah tujuan inti dari mempelajari ilmu pengetahuan dalam Islam agar dapat difahami kemudian diamalkan. Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ يُرِدِ الله بِهِ خَيْراً يُفَقّهْهُ في الدّينِ

Artinya: “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan diberikan pemahaman pada masalah agama” (HR Bukhari dan Muslim).

Adapun makna fiqih secara terminologis telah mengalami perkembangan. Makna Fiqih di abad pertama, yaitu masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin berarti semua pembahasan masalah agama mencakup akidah, hukum aplikatif seperti ibadah dan muamalah, dan juga akhlak. Oleh karena itu Abu Hanifah mengarang buku yang membahas masalah akidah dengan judul al-Fiqh al-Akbar. Kemudian pada perkembangan berikutnya, para ulama lebih mengkhususkan lagi ruang lingkup pembahasan masalah fiqih pada masalah amaliyah dan mereka mendifinisikan ilmu Fiqih sebagai ilmu yang mepelajari hukum-hukum syari’ah amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci. Sehingga cakupan Fiqih Islam hanya membahas masalah-masalah amaliyah seperti shalat, zakat, puasa, haji, nikah, muamalah dan siyasah.
Syari’ah secara etimologis mengandung dua makna, jalan lurus dan sumber air. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna Syari’ah secara terminologis adalah sistem hukum yang dibuat Allah Swt untuk hamba-Nya sebagai pedoman hidup dan petunjuk jalan yang lurus bagi mereka agar mendapat kebahagian hidup di dunia dan akhirat.

Syari’ah Islam di masa Rasulullah Saw sudah mencapai kesempurnaan dengan segala macam prinsip-prinsipnya, kaidah-kaidah dan hukum-hukum umum. Dan ketika Rasulullah Saw wafat, Syari’ah Islam telah lengkap dan sempurna. Allah SWT berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”

Agar Fiqih Islami dapat berfungsi secara maksimal dalam memberikan landasan dan taujih (arahan) bagi kehidupan manusia, maka Fiqih Islami harus komitmen pada nushush syar’iah, mabadi’ syar’iyah (nilai-nilai dasar) dan Maqashid Syariah (tujuan Syariah).

b. Urgensi Ilmu Fiqih

Mempelajari fiqih itu penting sekali bagi setiap muslim. Sehingga untuk hal-hal yang wajib dilakukan, hukumnya pun wajib untuk mempelajarinya. Misalnya kita tahu bahwa shalat 5 waktu itu hukumnya wajib. Maka belajar fiqih shalat itu pun hukumnya wajib juga. Sebab tanpa ilmu fiqih, seseorang tidak mungkin menjalankan shalat dengan benar sebagaimana perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Memang ada sebagian orang yang memandang remeh ilmu fiqih. Seringkali mereka mengatakan bahwa belajar fiqih itu hanya belajar masalah air dan istinja saja. Padahal yang dipelajarinya barulah mukaddimah belaka. Bila ilmu itu diteruskan, maka fiqih itu akan sampai kepada masalah yang aktual seperti urusan politik, mengatur negara dan seterusnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa fiqih itu mencakup semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada tempat berlari dari fiqih.

C. Fiqih Adalah Ilmu Yang Siap Pakai

Berbeda dengan belajar tafsir, hadits, sirah dan ilmu-ilmu lainnya, di dalam fiqih yang tersedia. Ada sekian banyak dalil yang terserak di berbagai literatur. Sehingga tidak mudah bagi seseorang untuk mengumpulkannya menjadi satu. Belum bila dilihat sekilas, mungkin saja masing-masing dalil baik dari Al-Quran dan sunnah berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.

Disinilah fungsi Ilmu Fiqih, yaitu merangkum sekian banyak dalil, menelusuri keshahihannya dan mengupas istidlalnya serta memadukan antara satu dalil dengan lainnya menjadi sebuah kesimpulan hukum. Lalu hukum-hukum itu disusun secara rapi dalam tiap bab yang memudahkan seseorang untuk melacaknya. Dan biasanya yang baik adalah dengan mencantumkan juga dalil serta bagaimana istinbat hukumnya.

Dan lebih penting dari semua itu, apa yang dipersembahkan ilmu fiqih ibarat daftar perintah dan aturan Allah SWT yang sudah rinci nilainya, apakah menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.

D. Rujukan Fatwa Dan Fiqih Islam

Fiqih Islam dan fatwa yang dihasilkan oleh para ulama berpegang pada sumber rujukan utama, yaitu:
  1. Mashadir Asasiyah (sumber hukum primer) yang disepakati oleh Jumhur Ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu al-Qur’an, Sunnah yang suci, ijma’ dan qiyas.
  2. Mashadir pendukung seperti istihsan, maslahah mursalah, saad dzara’i, istishab, ’urf, madzhab sahabat, syar’ man qoblana. Hal ini dilakukan dengan syarat-syarat dan dhowabit yang ma’ruf di kalangan ahli ilmu, apalagi jika sumber tadi mengandung kemashlahatan bagi umat.

Sedangkan para ulama modern tidak dapat melepaskan diri dari kekayaan pemikiran ulama salafu shalih. Sehingga fatwa ulama modern merupakan kelanjutan dari fatwa atau produk fiqih para ulama sebelumnya. Bagi para ulama yang akan memasuki dunia fiqih dan fatwa, maka harus melakukan kajian terhadap produk fiqih berikut:
  1. Madzhab empat dan lainnya dari madzhab ahli ilmu yang merupakan kekayaan fiqih yang sangat besar.
  2. Memperhatikan pemakaian dalil yang benar dalam berfatwa dan merujuknya pada masadar dan maraji’ yang terpercaya dan mengenal realitas serta memperhatikan aspek kemudahan.
  3. Wajib memperhatikan Maqashid Syariah ( tujuan Syariah) dan menjauhi penyimpangan yang tidak sesuai dengan Maqashid
  4. Wajib memperhatikan manhaj moderat ( pertengahan antara zhahiriyah yang hanya bersandar pada zhahir nash dan ahlur-ra’yi yang sangat dominan pada ra’yu atau akal). Tidak tasyadud dan tidak meringan-ringankan.
  5. Memanfaatkan buku-buku madzhab empat seperti Bada’i As-Shana’i, Ad-Dur al-Mukhtar (madzhab imam Abu Hanifah), Bidayatul Mujtahid, al-Mudawwanah al-Kubra (madzhab imam Malik), Al-Um, Al-Majmu’, Al-Hawi Al-Kabiir, (madzhab imam as-Syafi’i), Al-Mughni, As-Syarh Al-Kabiir ( madzhab imam Ahmad).
  6. Memanfaatkan kitab-kitab fiqih modern seperti Fiqhus Sunnah; Sayyid Sabiq, fiqih Islam dan dalil-dalilnya; Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Mufashal; Abdul Karim Zaidan, mausu’ah Fiqih (Kuwait).
  7. Memanfaatkan kitab Qawaid Fiqhiyah, seperti al-Asybah wa an-Nazhair; Suyuti, al-Asybah wa an-Nazhair; Ibnu Nuzaim, al-Wajiz; Borno
  8. Memanfaatkan produk Fatwa dan Penelitian yang dikeluarkan Lembaga Fiqih, seperti fatwa imam an-Nawawi, fatwa-fatwa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Fatwa-fatwa; Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah.

E. Ittijah Fiqih

Ittijah Fiqih harus sesuai dengan karakteristik Islam atau Syariah Islam. Dengan demikian Ittijah Fiqih mencakup faktor-faktor berikut:

1. Salafi
Salafi adalah suatu manhaj yang berupaya kembali pada rujukan asli, yaitu: al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang telah difahami dan diamalkan oleh generasi salaf yang shalih.

2. Takamuli
Takamuli adalah suatu pendekatan fiqih yang melihat dari sisi yang integral, atau terpadu atau komprehensif dari semua sisinya sehingga karakteristik Islam akan tercermin dalam kajian fiqih tersebut.

3. Tawazuni
Tawazuni adalah suatu pendekatan dan sikap yang senantiasa menjaga keseimbangan, sebagaiamana ajaran Islam. Tawazun dalam Fiqih sangat penting sehingga keaslian Islam akan tetap terjaga, khususnya menjaga tawazun antara nash (teks) dan waqi (realitas).

4. Wasathi
Wasathi adalah sikap pertengahan antara sikap yang mempersulit dan menggampangkan. Dan wasathi merupakan ciri khas ajaran Islam sehingga harus menjadi perhatian ulama dalam mengeluarkan produk hukumnya.

5. Taisiri Laa Tarakhkhusi
Memberikan kemudahan bukan memudah-mudahkan. Manhaj mencari kemudahan adalah manhaj yang sesuai karakteristik agama Islam ini. Rasulullah saw. memberikan pelajaran yang terbaik dalam masalah ini, beliau memilih pendapat yang paling mudah, asalkan tidak jatuh pada dosa. Sebagaimana yang diungkapkan ‘Aisyah ra tentang Rasulullah saw.: “Tidaklah Rasulullah saw. diminta untuk memilih antara dua perkara, kecuali memilih yang paling mudah, selagi tidak berdosa” (HR Bukhari).

Sufyan at-Tsauri mengatakan: Seorang Faqih adalah orang yang dapat memberi keringanan tanpa jatuh pada dosa. Sedangkan sikap memperketat (tasyadud) bisa dilakukan oleh semua orang”.

6. Waqi’i haraki
Fiqih Waqi adalah ilmu yang membahas tentang pemahaman terhadap suatu kondisi kontemporer, seperti faktor-faktor yang berpengaruh pada masyarakat, kekuatan yang menguasai suatu negara, pemikiran-pemikiran yang ditujukan untuk menggoncang aqidah dan jalan-jalan yang disyariatkan untuk memelihara umat dan ketinggiannya baik pada saat sekarang maupun yang akan datang (Fiqhul Waqi-Dr. Nashir bin Sulaiman Al-Umr).
Dengan demikian memahami waqi atau realitas kehidupan adalah keniscayaan bagi para ulama sampai pada sasaran yang dikehendaki. Qaidah Fiqih menyebutkan hukum atas sesuatu adalah bagian dari pemahamannya terhadap realitas.

F. Pendekatan Fiqih

Dalam rangka mewujudkan ittijah fiqh di atas, diperlukan pendekatan fiqhi sebagai berikut:

Fiqih Nushush
Fiqih Nushush, yaitu memahami nash-nash syariah baik dalam al-Qur’an maupun sunnah, sesuai kaidah-kaidah bahasa Arab yang baku, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syahid Hasan al-Banna di dalam satu satu Ushul al-’Isyrin. Sehingga para ulama fiqih harus menguasai ilmu-ilmu tentang nushuh seperti bahasa Arab, ushul fiqih. ulumul Qur’an, ulumul hadits dll.

Fiqih Aulawiyat
Fiqih Aulawiyat adalah upaya untuk memahami skala prioritas terkait dengan tingkatan maslahat manusia, yaitu dharurat, hajiyat dan tahsinat. Maka hukum yang terkait dengan kondisi darurat harus lebih diutamakan dari hajiyat, dan hukum yang terkait dengan hajiyat harus lebih diutamakan dari tahsinat. Sehingga pemenuhan kebutuhan tahsini tidak direkomendasikan jika menggangu pemenuhan kebutuhan hajiy, dan pemenuhan hajiy tidak direkomendasikan jika menganggu pemenuhan dharuri.

Fiqih Muwazanah
Fiqih Muwazanah sejatinya adalah Fiqih Islam yang menyandarkan pembahasannya pada Nushus Syariah, Mabadi Syariah dan Maqashid Syariah. Dan berupaya mengambil kesimpulan hukum yang dapat memberikan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkan kemudharatan mereka. Dengan demikian Fiqih Muwazanah harus mempertimbangkan faktor-faktor berikut: Maslahat dan mafsadat; maslahat dan tingkatannya; mafsadat dan tingkatannya.

Fiqih I’tilaf dan Ikhtilaf
Fiqih I’tilaf adalah upaya memahami bagimana menyatukan umat dengan cara memahami Fiqih Islam secara integral. Sedangkan Fiqih Ikhtilaf upaya untuk memahami ikhtilaf yang terjadi di kalangan ulama, macam-macam ikhtilaf dan kesimpulan hukum yang dikeluarkan. Dan salah satu ittijah Fiqih Dewan Syariah adalah berupaya keluar dari perbedaan dan mencari titik temu dan persamaan. Energi umat Islam banyak terkuras pada perselisihan dan perbedaan, sehingga bagaimana mengeluarkan pendapat yang bisa meminimalisir perbedaan dan dapat menyatukan umat Islam.

Fiqih Maqashid dan Mabadi’
Syariat yang dibawa oleh para nabi termasuk nabi Muhammad Saw dibuat untuk kemaslahatan manusia. Allah Swt. berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman"

Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Maqashid Syari’ah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan. Sedangkan mabadi’ adalah memperhatikan nilai-nilai dasar Islam, seperti keadilan, persamaan, kemerdekaan dll.

Maslahah
Maslahah dalam Islam merujuk pada kebutuhan yang sangat prinsip manusia yaitu, penjagaan pada 5 hal : Agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Islam sangat menjaga 5 hal pokok tersebut.

Dalam hal ini imam al-Ghazali berkata:

“Sesungguhnya mengambil manfaat dan menolak mudharat merupakan tujuan diciptakannya mahluk dan baiknya suatu mahluk dalam memperoleh tujuan mereka. Tetapi yang kami maksud dengan maslahah yaitu menjaga apa yang dikehendaki oleh Syari’ah. Dan yang dikehendaki Syari’ah untuk dijaga ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Maka setiap yang dapat menjamin penjagaan 5 pokok perkara ini, disebut maslahah, dan setiap yang meniadakan 5 pokok perkara ini berarti mafsadah dan menolak mafsadah berarti maslahah”.

Maslahah yang dikehendaki dalam Islam yaitu dengan menjaga 5 pokok yang sangat prinsip. Dan maslahah dalam Islam tidak pada satu tingkatan, tetapi memiliki tiga tingkatan, yaitu: Tingkat dharurat, tingkat hajiyat dan tingkat tahsinat. Dharurat adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan bahaya bagi dirinya. Sedangkan hajiyat adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia, jika tidak dipenuhi akan mendapat kesulitan. Dan tahsinat adalah sesuatu yang bersifat sekunder dan pelengkap kehidupan manusia.

Fiqih Sunan Rabaniyah
Dalam melakukan kajian fiqih dan mengeluarkan hasil-hasil fiqih tidak bertentangan dengan sunah kauniyah yang terjadi di dalam alam semesta. Diantara sunnan rabaniyah yang harus menjadi pertimbangan dalam fiqih Islam yaitu, keseimbangan, keteraturan, kebertahapan, keharmonisan dll.

Fiqih Waqi
Fiqih Islam ada yang memiliki hukum tetap (tsawabit) dan ada yang berubah (mutaghayyirat). Sehingga para ulama Islam harus senantiasa memahami perkembangan yang ada agar dapat menjawab tuntutan perkembangan zaman dan dapat memberikan arahan pada realitas manusia. Qaidah Fiqhiyah menyebutkan: Menghukumi sesuatu adalah bagian dari pemahaman terhadap realitas. Qaidah lain menyebutkan: Fatwa dapat berubah dengan perubahan waktu. Demikianlah yang dilakukan oleh Imam as-Sya’fi’i dalam fatwanya, fatwa lama (qaul qadim) ketika di Irak banyak yang berubah dengan kepindahannya di Mesir dan memunculkan fatwa baru (Qaul jadid).

Fiqih Dakwah
Fiqih Islam adalah fiqih yang berkhidmah untuk kepentingan dakwah Islam sehingga fiqih harus memperhatikan nilai-nilai dakwah. Sedangkan dakwah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

G. USHUL FIQIH

Definisinya: Ushul Fiqih didefinisikan dengan 2 tinjauan:

Pertama : tinjauan dari 2 kosa katanya yaitu dari tinjauan kata Ushul dan kata Fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari "al-Ashl" yaitu apa yang dibangun di atasnya yang selainnya, dan diantaranya adalah pokoknya tembok (أَصْلُ الجِدَار) yaitu pondasinya, dan pokoknya pohon (أَصْلُ الشَّجَرَةِ) yang bercabang darinya ranting-rantingnya. Allah berfirman:
”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”

Dan Fiqih secara bahasa adalah pemahaman (الفَهْمُ), diantara dalilnya adalah firman Allah:
”dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku” (QS Thohaa : 27)

Dan secara istilah:
”Mengetahui hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-dalilnya yang terperinci”

Maka yang dimaksud dengan “ Mengetahui” adalah Ilmu dan persangkaan. Karena mengetahui hukum-hukum fiqih terkadang bersifat yakin dan terkadang bersifat persangkaan, sebagaimana banyak dalam masalah-masalah fiqih.

Dan yang dimaksud dengan “Hukum-hukum syar’i” adalah hukum-hukum yang diambil dari syari’at, seperti wajib dan haram, maka keluar darinya (yakni Hukum-hukum syar’i) hukum-hukum akal; seperti mengetahui bahwa keseluruhan lebih besar daripada sebagian; dan hukum-hukum adat (kebiasaan); seperti mengetahui turunnya embun di malam yang dingin jika cuaca cerah.

Yang dimaksud dengan “Amaliah” adalah apa-apa yang tidak berhubungan dengan aqidah, seperti sholat dan zakat. Maka tidak termasuk darinya (Amaliah) apa-apa yang berhubungan dengan aqidah; seperti mentauhidkan Allah, dan mengenal nama-nama dan sifat-Nya; maka yang demikian tidak dinamakan Fiqih secara istilah.

Yang dimaksud dengan “dengan dalil-dalilnya yang terperinci” adalah dalil-dalil fiqh yang berhubungan dengan masalah-masalah fiqh yang terperinci, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu Ushul Fiqih karena pembahasan di dalamnya hanyalah mengenai dalil-dalil fiqih yang umum.

Kedua: Dari tinjauan keberadaannya sebagai julukan pada bidang tertentu, maka Ushul Fiqih didefinisikan dengan:
”Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqih yang umum dan cara mengambil faidah darinya dan kondisi orang yang mengambil faidah.”

Yang dimaksud dengan”yang umum/mujmal”, kaidah-kaidah umum; seperti perkataan: “perintah menunjukkan hukum wajib”, “larangan menunjukkan hukum haram”, “sah-nya suatu amal menunjukkan amal tersebut telah terlaksana (yakni, ia tidak dituntut untuk mengulangi, pent)”. Maka tidak termasuk dari “yang umum”: dalil-dalil yang terperinci. Dalil-dalil terperinci tersebut tidaklah disebutkan dalam ilmu Ushul Fiqih kecuali sebagai contoh (dalam penerapan) suatu kaidah.

Yang dimaksud dari “dan cara mengambil faidah” darinya yaitu mengetahui bagaimana mengambil faidah hukum dari dalil-dalilnya dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan penunjukkannya seperti umum, khusus, muthlaq, muqoyyad, nasikh, mansukh, dan lain-lain. Maka dengan menguasainya (yakni cara mengambil faidah dari dalil-dalil umum) seseorang bisa mengambil faidah hukum dari dalil-dalil fiqih.

Diinginkan dengan “kondisi orang yang mengambil faidah”, yaitu mengetahui kondisi/keadaan orang yang mengambil faidah, yaitu mujtahid. Dinamakan orang yang mengambil faidah (مُسْتَفِيْدٌ) karena ia dengan dirinya sendiri dapat mengambil faidah hukum dari dalil-dalilnya karena ia telah mencapai derajat ijtihad. Maka mengenal mujtahid, syarat-syarat ijtihad, hukumnya dan yang semisalnya dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih.

H. Faidah Ushul Fiqih

Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang agung kedudukannya, sangat penting dan banyak sekali faidahnya. Faidahnya adalah kokoh dalam menghasilkan kemampuan, yang seseorang mampu dengan kemampuan itu mengeluarkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya dengan landasan yang selamat.

Dan yang pertama kali mengumpulkannya menjadi suatu bidang tersendiri adalah al-Imam asy-Syafi’i, kemudian para ulama sesudahnya mengikutinya dalam hal tersebut. Maka mereka menulis dalam ilmu Ushul Fiqih tulisan-tulisan yang bermacam-macam. Ada yang berupa tulisan, sya’ir, tulisan ringkas, tulisan yang panjang, sampai ilmu Ushul Fiqih ini menjadi bidang tersendiri keberadaannya dan kelebihannya.

I. Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
وَالَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ
Artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79).

Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata: “Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”
Artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).

Tujuan Ijtihad: adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Fungsi Ijtihad: Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad.

Lingkup Ijtihad: Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian hukum syariat dari dalil-dalil dzanni. Ijtihad tidak boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara langsung oleh akal.

Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang jelas penunjukkannya (qath‘i), ada pula yang penunjukkannya zhanni. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah, kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini bukanlah lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah seperti ini sudah sangat jelas dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Siapa saja yang salah dalam mempersepsi perkara-perkara yang sudah qath‘i, maka ia telah terjatuh dalam dosa dan berhak mendapatkan azab Allah Swt. Sebaliknya, kesalahan dalam perkara-perkara ijtihadiah (zhanni) tidak akan menjatuhkan pelakunya dalam dosa dan maksiyat.
Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni. Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.

Syarat-syarat Mujtahid: Seorang ulama yang melakukan Ijtihad harus memiliki yarat-syarat, di antaranya :
  1. Ia mengetahui dalil-dalil syar'i yang dibutuhkan dalam ijtihadnya, seperti ayat-ayat hukum dan hadits-haditsnya.
  2. Ia mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan keshohihan hadits dan kedho'ifannya, seperti mengetahui sanad-sanadnya dan para perowinya dan lain-lain.
  3. Ia mengetahui nasikh dan mansukh dan tempat-tempat terjadinya ijma', sehingga ia tidak menghukumi dengan suatu hukum yang sudah mansukh atau menyelisihi ijma'.
  4. Ia mengetahui dalil-dalil yang diperselisihkan hukumnya dari pengkhususan, atau taqyid, atau yang semisalnya, sehingga ia tidak menghukumi dengan yang menyelisihi hal tersebut.
  5. Ia mengetahui bahasa ('Arab, pent), dan ushul fiqih yang berhubungan dengan penunjukkan-penunjukkan lafadz, seperti umum, khusus, muthlaq, muqoyyad, mujmal, mubayyan, dan yang semisal itu, sehingga ia menghukumi dengan apa yang menjadi konseskuensi penunjukkan penunjukkan tersebut.
  6. Ia memiliki kemampuan untuk kokoh dalam menggali hukum-hukum (beristimbath) dari dalil-dalilnya.
Dan ijtihad terkadang terbagi-bagi, terkadang pada satu bab dari bab-bab ilmu, atau pada satu permasalahan dari masalah-masalahnya.
Yang harus dilakukan seorang mujtahid: Seorang mujtahid harus mengerahkan kesungguhannya dalam mencari yang benar, kemudian menghukumi dengan apa yang nampak baginya, jika ia benar maka ia akan mendapat 2 ganjaran; ganjaran atas ijtihadnya dan ganjaran atas mendapatkan yang benar, karena dalam mendapatkan kebenaran berarti ia telah menampakkan yang benar dan mengamalkannya. Dan jika ia salah maka ia mendapat satu ganjaran dan kesalahannya diampuni, berdasarkan sabda Rosululloh saw.
إذا حكم الحاكم فاجتهد، ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد، ثم أخطأ فله أجر
Artinya: "Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua ganjaran. Dan jika ia menghukumi dan berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu ganjaran."

Dan jika hukum tersebut belum nampak baginya, maka ia wajib untuk tawaqquf dan boleh baginya untuk bertaqlid ketika itu karena darurat.

J. Islam Tanpa Fiqih & Ijtihad

Adanya ijtihad merupakan kewajiban bagi kaum Muslim. Namun demikian, ijtihad—sebagaimana definisinya—adalah aktivitas yang sangat sulit dan berat. Ijtihad juga membutuhkan syarat-syarat yang tidak mudah. Hanya orang-orang yang memiliki kelayakan dan kemampuan saja yang berhak melakukan ijtihad. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan kelayakan tentu tidak akan mampu melakukan ijtihad sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Jika ia memaksakan diri berijtihad, tentu saja hukum yang ia gali lebih banyak didasarkan pada hawa nafsunya, bukan didasarkan pada dalil-dalil syariat dan kaidah istinbâth yang benar. Padahal Allah Swt. melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan hawa nafsunya. Allah Swt. berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Artinya: Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS al-Maidah [5]: 49).

Usaha yang dilakukan oleh kaum muslimin untuk mendapatkan ilmu Islam dari sumber-sumber dasar hukum (Al Qur’an, Hadist/Sunnah, Ijma’ dan akal) yang kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindar, karena:
1) Tidak hadirnya Imam Maksum di antara kaum muslimin. Islam sebagai sumber hukum dan nila absolut, hanya ada pada Allah dan maksumin. Selain dari keduanya, Islam masih merupakan konsep yang harus digali. Paling tidak dengan memprediksikan bahwa konsep tadi dinyatakan benar oleh pandangan muslim.
2) Perkembangan pola kehidupan manusia. Ketika muslim merupakan bagian komunitas alam yang saling mengikat, maka perubahan yang terjadi selalu memiliki keterikatan dengan yang lain. Baik pada komunitas muslim atau dengan yang di luar muslim. Perubahan pola hidup yang dimaksud adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta adanya tuntutan keperluan hidup. Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam merupakan suatu keharusan.
Karena fiqih merupakan gambaran atau penjelas dari simbol dan amal serta kriteria Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat dilihat dari keberadaan fiqih. Keislaman seseorang terlihat dengan bentuk (pengejawantahan) fiqih pada dirinya. Karena itu keberadaan ijtihad & mujtahid memegang peranan yang sangat penting atas keberadaan Islam dalam kehidupan manusia.

Dalam surat Al-Taubah ayat 122 ditegaskan:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: ”Mengapa tidak pergi sebagian di antara setiap golongan kamu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya”.

Begitulah, Al Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk memperdalam pengetahuan sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini. Kehidupan Islam tanpa fiqih & ijtihad akan seperti manusia tanpa akal dan fikirannya.

Kesimpulan
  1. Dalam Islam, kedudukan Fiqih sangatlah penting. Karena tidak mungkin seorang muslim dapat beribadah dengan benar tanpa adanya pengetahuan tentang fiqih.
  2. Ijtihad di dalam Islam dibenarkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan umat masa kini dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
  3. Seluruh proses ijtihad atau pengambilan hukum tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap teks-teks Al Qur’an dan As Sunnah yang keduanya menggunakan Bahasa Arab.
  4. Oleh karenanya tidak diperkenankan bagi seseorang yang tidak memahami Bahasa Arab dan tidak mengerti kaidah-kaidah di dalam ushul fiqh untuk berijtihad, karena dia tidak memiliki sarana dan alat untuk bekerja. Tidak diperkenankan juga, bagi setiap orang untuk merubah kaidah-kaidah tersebut, tanpa menyertakan alasan-alasan yang ilmiyah dan bisa dipertanggung jawabkan menurut disiplin keilmuan yang ada.
  5. Tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan kaum muslimin, maka kaum muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni harus selalu berada dan berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal mendapatkan hukum tersebut merupakan kewajiban kaum muslimin. Tanpa itu , proses ijtihad akan menyimpang dari jalannya yang benar, dan selanjutnya akan menunai kerusakan dan kekacauan.


Daftar Pustaka

  • Abdul Qodir bin Badron, al-Madkhol ila Madzhabi Ahmad ibni Hanbal
  • Abdurrahman bin Qosim, Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah
  • al-Fairuz Abadi, al-Qomus al-Muhith
  • al-Futuhi, al-Kaukabul Munir syarh Mukhtashor at-Tahrir
  • Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul
  • Dewan Syariah PKS, Ittijah Fiqih
  • Ibnul Qoyyim, I'lamul Muwaqqi'in
  • Minhaajul Ushul dan Syarahnya : matan oleh al-Baidhowi, pensyarahnya majhul bagi kami.
  • Muhammad Shiddiq, Hushulul Ma'mul min 'Ilmil Ushul
  • Roudhotun Nadzir dan syarahnya : pokok-nya oleh al-Muwaffiq, dan syarah oleh Abdul Qodir bin Badron.
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ayah dan kakeknya, al-Muswaddah fi Ushulil Fiqh
  • Syarhu Jam'il Jawami' wa Hasyiyatuhu : Syarah oleh al-Muhli dan Hasyiyah oleh al-Bunani.
  • Usul Manhaj al-Ijtihad : Muhammad Ahmad al-Rasyid
  • Zaadul Ma'ad : Ibnul Qoyyim.

0 comments:

Post a Comment